Home

Akhirnya Pantura!!


Susah banget deh bujuk Naya ikut pergi ke jogja padahal niatnya buat liburan bukan ikut aku kerja. Memang sih dia masih ngambek soal anjing dan masih seneng-senengnya sama rumah baru, jadi harus sedikit gombal deh buat ngerayu dia supaya ikut. Bagaimana pun aku yang paling juara di hatinya, ngebujuk naya itu selalu sulit bila sedang dalam keadaan ngambek apalagi untuk sesuatu yang sedang tidak diinginkannya. Tapi itu bukan masalah besar karena Naya pasti selalu kena kebujuk asal yang ngebujuknya itu aku. Hehe.

Setelah hampir satu jam lebih aku membujuknya sampe hampir menyerah akhirnya terlontarlah kata-kata “ yaudah sana beli tiket” dari mulut Naya, sontak aku kegirangan lantas mencium pipinya kemudian berlari menuju ruang makan untuk sarapan dan setelah itu bergegas ke Baranangsiang membeli tiket bis jurusan Yogya. Naya cengar-cengir saja liat tingkahku yang berubah 180 derajat, dari meracau memelas hingga bersemangat sekali pagi itu. Segala puji-pujian kulontarkan kepada Naya ketika melihat apa yang sudah tersaji di meja makan. Kembali Naya hanya berteriak dari ruang tengah, “Kamu gombal parah len, parahhhh”. Aku pun tidak diam saja, aku membalas dengan gombalan yang tidak kalah menjijikan dari gombalan-gombalanku sebelumnya, “Biariiinnn aja aku gombal, yang penting aku gombalnya cuma sama kamu istriku tercinta, sama orang lain gakkk”. Hehehe.

Hari ini Naya memasak sup ayam dengan bergedel dan sewiwi (sayap ayam) dikecapin, ini lah masakan sekaligus makanan kesukaan Naya yang sekarang jadi salah satu makanan kesukaanku juga. Menurut Naya orang yang suka bagian sayap ayam itu adalah orang yang tidak akan menyerah dalam menggapai sesuatu, karena sayap diartikan sebagai sesuatu yang bisa dipakai untuk terbang dan menjangkau cita-cita yang tinggi. Aku sih selalu tersenyum aja jika Naya menjelaskan hal itu, setahuku penjelasan itu didapat Naya dari eyang putrinya dan menurutku itu tepat sekali dengan pembawaan Naya istriku yang tidak pernah menyerah jika menginginkan sesuatu yang benar-benar ia sukai.

Setelah menyelesaikan sarapanku (Naya selesai lebih awal karena aku tadi makan nambah. Hehe) dan selesai menikmati suguhan kopi pagiku hari ini, aku lalu bergegas ke garasi untuk memanaskan motorku. Motor kesayanganku, sesuatu yang selalu dicemburui oleh Naya. Motorku itu adalah motor kuno buatan negerinya Hitler alias Jerman bermerek BMW pabrikan tahun 40-an berwarna hitam yang kubeli 10 tahun yang lalu di Klaten. Menurutku naek motor gede kuno itu terlihat sangat elegan dan macho, selain itu nilai sejarah yang terkandung di dalamnya menambah keeksotikan motor tersebut. Motorku ini termasuk motor langka, motor peninggalan PD II ini pertama masuk ke Indonesia dibawa oleh Jepang.

Hubungan baik fasisme Eropa yang diwakili Jerman dan Fasisme Asia yang diwakili Jepang membuat mereka bersekutu di PD II, dari sinilah Jerman dan Jepang saling membantu dalam memenuhi segala macam kebutuhan perangnya termasuk transportasi ringan seperti motor walaupun sebenarnya Jepang pun juga punya motor-motor pabrikannya sendiri. Jadilah motorku ini dahulu di stok oleh Jerman untuk dipakai oleh para komandan-komandan Jepang di Indonesia tepatnya di Semarang, setelah Jepang menyerah tanpa sarat pada tahun 1945 terhadap sekutu ditinggalah motor-motor ini oleh si empunya. Jadilah motor ini tak bertuan dan jatuh ke tangan pegawai pabrik gula yang berkewarganegaraan Belanda, dari Semarang dibawalah motor ini ke Klaten tepatnya ke pabrik gula Klaten atau yang dikenal sebagai pabrik gula Gondang Winangoen. Pabrik ini didirikan tahun 1860 oleh N.V. Klatensche Cultur Maatschappij yang berkedudukan di Amsterdam Belanda. Pada awal berdirinya pengelolaanya dilakukan oleh keluarga Jongkhervan der Wijk. Kemudian pengelolaanya dilakukan oleh N.V Mirrandolle Voute & Co yang berkedudukan di Semarang (inilah mengapa motor itu dahulu dibawa dari semarang ke Klaten). Ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1948 melalui Konferensi Meja Bundar hampir seluruh regulasi atas pabrik-pabrik milik pemerintah Belanda berubah total, saah satunya pemerintah Indonesia harus menjamin keutuhan usaha milik Belanda di Indonesia harus dikembaliakn kepada pemilik semula tidak terkecuali pabrik gula Gondang Winagoen yang juga dikemblaikan kepada pemilik semula yang bernama MFH Bremmers, selanjutnya berturut-turut dipegang oleh Tn. Van Beneiden dan GF Bernet. Pergantian pengelola dan pimpinan ini berdampak juga kepada pergantian beberapa pengurus pabrik, dan si pemilik motorku ini termasuk yang terganti. Akhirnya orang Belanda ini pergi pulang ke negaranya, dari sinilah motor ini dibeli oleh salah satu pribumi kaya yang pada saat itu bergelar Lurah dengan harga murah, padahal kondisi motor itu masih sangat bagus dan terawat. Tetapi karena si Belanda itu sudah harus pulang dan tidak ada jatah kapal untuk motornya jadilah motor itu dijualnya. Setelah Lurah itu meninggal motor itu terbengkalai dan cucunya tidak bisa merawat, akhirnya aku mendengar berita itu ketika aku tengah bermain ke rumah teman di Klaten.

Setelah aku lihat, ternyata motor itu masih sangat bagus hanya saja sedikit kusam karena tidak pernah dipakai, sedangkan mesinnya masih bisa nyala dan semua orisinil. Sayang sekali cucunya ini tidak tertarik untuk memakainya pikirku, padahal ini barang bagus dan sanagt langka. Akhiranya aku pun mendapatkan motor ini dengan harga yang sangat murah, hanya 6 juta rupiah dan aku pun membayarnya dengan mencicil 3x bayar selama satu tahun. Hehehe. Maklum pada saat itu aku masih SMA, untuk membelinya pun aku patungan dengan bapak dan ibuku. Hehe. Motor ini juga yang selalu kupakai sewaktu kuliah dan yang pertama aku pakai untuk ngajak Naya jalan-jalan setelah resmi menjadi pacarku 6 tahun yang lalu. Hehe.

Setelah mesin sudah panas aku pun berangkat, Naya tidak ikut karena seperti biasa ada saja barang-barang yang dirapihkannya atau lebih tepatnya dipindah-pindah dengan alasan kurang bagus lah ditaro sini, kurang cocoklah ada disini dan macam-macam alasan lainnya yang menurutku sih gak penting-penting amat, tetapi justru disitu letak kebahagiaanku bisa liat Naya ngurus rumahnya sendiri, rumah yang kita cita-citakan bersama.

Aku memilih bis karena transportasi yang tersedia dari Bogor langsung ke Jogja itu memang hanya bis malam dan travel, tetapi aku dan Naya lebih memilih bis karena memang sudah menjadi langganan kami jika hendak pulang ke Yogya. Bis yang kami naiki terjadwal berangkat dari Baranangsiang pukul 15.00 WIB. Aku pun bergegas pulang dan packing, karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB.

Dari Bogor kota ke rumahku itu sekitar 20 menit dan itu naik motor. Sampai dirumah aku langsung bilang ke Naya kalo bis berangkat dari terminal seperti biasa jam 3 sore dan kita berangkat dari rumah jam 2 lewat 15 menit. Tak bosan-bosannya aku ingatkan Naya untuk packing dan siap-siap, itu udah penyakitnya kalo gak diingetin dia gak akan memulai untuk packing dan sibuk ngerjain hal-hal lain. Ujung-ujungnya ntar dia packing setelah waktu mepet dan akan banyak sesuatu yang terlewat untuk dibawa, gak baju kesuakaannya lah, alat mandinya lah bahkan tidak jarang pakaian dalamnya. Kalo sudah seperti itu aku sedikit protes sama dia karena kan harus membeli lagi barang-barang baru yang tidak terbawa itu.

Akhirnya aku dan Naya merampungkan semua urusan packing, setelah dicek berulang-ulang barang-barang bawaan kami berdua tidak ada yang tertinggal. Seperti biasa aku dan Naya membawa barang menggunakan tas ransel kami masing-masing, itu sudah kebiasaan kami dari semasa pacaran dulu setiap melakukan perjalanan. Carier milikku berwarna hitam dan Naya berwarna merah, cukup manis seperti orangnya. Hehe. Kami tidak membawa barang terlalu banyak, disamping karena memang tidak akan lama di Yogya juga karena dirumah orang tuaku ada banyak baju-bajuku dan Naya yang sengaja ditinggal disana.

Kami berangkat ke terminal sesuai jadwal, jam setengah tiga kami sudah berangkat. Kembali menggunakan motor kesayanganku, menitipkan motor di terminal sudah menjadi kebiasaan bagiku bila bepergian menggunakan bis. Naya sudah tidak ngambek lagi saat ini, dia sudah mulai bawel dan meracau lagi. Sepanjang perjalanan dari rumah ke terminal dia sudah berceloteh seperti membuat daftar akan kemana saja nanti dia ke Yogya, karena di jalan jadilah aku hanya menanggapinya dengan “Iya” berkali-kali. Hehehe. Setelah sampai terminal, menitipkan motor di tempat penitipan kami lekas naik ke atas bis. Naya selalu duduk di dekat kaca dan aku di sebelah kanan, dengan alasan mau liat-liat dan biar afal jalan walaupun kenyataannya dia selalu tertidur setelah bis berjalan sehingga tidak pernah afal jalan.

Bagi Naya, pulang ke Yogya itu menyenangkan sekaligus mengorek luka lamanya. Pergi ke Yoga bagi Naya adalah mengenang masa lalunya, masa-masa yang indah tentang masa kecilnya, kuliahnya, asmaranya dan sekaligus sedikit masa-masa suram tentang latar belakang keluarganya.

Naya, istriku yang ceria itu seperti sudah aku ceritakan sebelumnya sebenarnya seorang yang introvert, dia tidak pernah mau menghiraukan pendapat orang lain jika ia sudah mau akan sesuatu. Jika sudah begitu hanya aku yang bisa meluluhkannya, entah kenapa padahal apa yang aku omongkan padanya hampir sama seperti yang orang lain katakan. Banyak yang tidak tahu jika sebenarnya Naya itu memiliki hubungan yang tidak begitu baik dengan ibunya, Naya sudah hampir 5 tahunan ini tidak berkomunikasi dengan sang Ibu. Inilah mengapa aku sebutkan bahwa latar belakang keluarganya adalah masa-masa suram baginya. Setelah sang Ibu berpisah dengan ayahnya dan memutuskan untuk menikah lagi dengan pria asal swedia dan saat ini menetap disana sedangkan ayah Naya sekarang menetap di Jakarta .

Naya itu teman kecilku di Yogya. Kami sudah mengenal ketika sama-sama duduk di bangku sekolah dasar, rumahku terletak di daerah Timoho tidak jauh dari kampus UIN Sunan Kalijaga dan rumah Naya pun dekat dengan rumahku. Naya adalah keturunan Solo, ayahnya masih kerabat keraton Kasunanan Surakarta hanya saja semenjak kuliah dan menikah ayahnya tinggal di Yogya. Sedangkan ibunya adalah seorang blasteran Jawa (Magelang) – Australia , nenek Naya dari jalur Ibunya adalah seorang australia sedangkan kakeknya asli Jawa. Kalau tidak salah aku pernah bilang kalau Naya memiliki kemampuan dalam membuat batik tulis dan melukis, keahliannya ini didapat dari eyang putri dari jalur ayahnya yang asli orang keraton Solo. Eyang putrid Naya adalah salah satu pembatik keraton Solo yang karya-karyanya dipakai oleh Pakubuwono , XI, XII dan permaisurinya, bahkan almarhumah Ibu Tien Soeharto pun juga kerap memakai batik buatannya. Hubungan Naya dengan eyang kakung dan putri dari jalur ayah sangat rekat jauh lebih rekat daripada hubungannya dengan keluarga ibunya.

Aku dan Naya bermain bersama sampai jenjang bangku sekolah menengah pertama hingga akhirnya kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya pindah ke Jakarta . Keadaan itu otomatis membuat Naya berada di posisi yang sulit, dahulu ia selalu bercerita akan perasaannya yang bimbang, dengan siapakah ia harus ikut tinggal? Dengan ayahnya yang ke Jakarta ? atau ikut ibunya yang kembali ke Magelang? Pada saat-saat itulah setiap hari aku mencoba menghibur Naya, baik dengan lelucon, tingkah laku atau apa saja yang bisa membuatnya tertawa. Jujur aku sangat berempati dengan Naya pada saat itu, usianya yang baru saja beranjak remaja dari anak-anak membuat kondisi jiwanya masih belum kuat. Berada di posisi itu adalah suatu yang sangat sulit, walaupun aku tidak mengalaminya tapi aku seakan bisa merasakannya.

Akhirnya Naya memutuskan untuk ikut ayahnya ke Jakarta sampai ia meluluskan sekolah menengah pertamanya. Ketidakdekatannya dengan keluarga Ibunya dan alasan ingin merasakan tinggal di Jakartalah yang membuatnya ikut sang Ayah. Setelah di Jakarta pertemanan kami sedikit merenggang, jarak yang jauhlah penyebabnya. Kami hampir tidak pernah berkirim kabar dan berita. Pada saat itu fasilitas telepon ataupun telepon genggam memang sudah ada tetapi untuk ukuran keluargaku yang sederhana barang itu sangatlah sulit didapat, setahun setelah Naya pergi ke Jakarta barulah bapak memasang telepon di rumah tetapi jangankan nomor telepon alamat Naya di Jakarta pun aku tidak tahu.

Semua berubah ketika aku sudah berseragam putih abu-abu. Suatu sore setelah tiga tahun berlalu, Naya datang kerumahku. Aku sangat terkejut dan nyaris tidak percaya, teman kecilku yang sudah lama tidak berjumpa kini kembali terlihat di depan mataku. Setelah melepas rindu dan bercerita panjang lebar mengenai kabar dan keadaan, barulah Naya cerita mengenai keputusannya sekolah di Solo ikut eyang kakung dan putrinya, disitulah pertemanan kita tersambung kembali. Jarak Solo-Yogya yang tidak terlalu jauh ditambah pada saat itu rumahku sudah memasang pesawat telepon dan beberapa saat kemudian aku sudah memiliki telepon genggam, jadilah komunikasi pertemanan kami berlangsung lagi. Puncaknya ketika kami sama-sama lulus SMA dan sama-sama kuliah di Yogya.

Pada masa itul perasaanku ke Naya berjalan seperti biasa, akan tetapi pepatah Jawa yang berbunyi “Witing tresno jalaran soko kulino” benar-benar berlaku. Perasaan yang dahulu sebatas teman berubah menjadi perasaan yang ingin memiliki karena sering bertemu dan berinteraksi, rasa itu sadar kurasakan sebenarnya ketika memasuki tingkat tiga kuliah (dua tahun kuliah) atau semester-semester 5 jalan ke 6, tetapi baru satu tahun kemudian aku berani mengungkapkan rasa itu kepada Naya. Naya sebenernya tahu akan perasaannku ke padanya dan sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, tetapi aku takut dan khawatir akan status kami berdua. Aku takut canggung dengannya yang dahulu teman berubah jadi pacar, tetapi rasa suka ke dia mengalahkan perasaan itu semua. Akhirnya aku beranikan bilang ke dia dan diterimalah olehnya, bener-bener deh cara pengungkapanku tidak ada romantis-romantisnya setidaknya itu yang selalu diungkapkan Naya. Begini kata-katanya “Ahh kamu mah gak ada romantisnya sama sekali pas bilang suka ke akuu, apaan tuh? Untung aku mau. Huuh.” Itulah yang selalu dikatakannya bila kita bernostalgia berdua. Hehe Aku sih terima saja dikatakan begitu, karena dulu pertimbanganku kalau ‘nembak’ dengan cara yang heboh dan romantis kalau ditolak akan malu abis dan aku tidak mau berjudi pada saat itu. Hehehe.

Setelah Naya bilang mau jadi pacar aku dan melalui hari-hari kedepan bareng-bareng denganku, langsung saja aku peluk dia dan aku ajak dia naek motorku keliling Yogja. Hahaha. Padahal tau udah berapa kali aku keliling Yogya tapi sore itulah yang paling mantab. Hehe.

Kayaknya segitu dulu deh ya celoteh nostalgiaku tentang Naya dan motorku, saat ini bis kami sudah memasuki perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah daerah Cirebon-Brebes dan sekarang pukul 10.30 WIB. Setelah Brebes masih Tegal, Pemalang, Pekalongan, Gringsing, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Ungaran, Magelang, Muntilan baru Yogyakarta dan Kalau tidak meleset sampai di Jombor itu jam 5 pagi. Si Naya pun sudah tertidur pulas menyandarkan kepalanya di pundakku jadi saatnya aku memeluknya. Hehe.

Bye.. =)

060311

Di tengah deru debu jalur Pantura

ditengah-tengah Jembatan pemisah Jawa Barat-Jawa Tengah


White Lily

"Naya.. Sayaang..", bisik Nalen membangunkan Nara dengan lembut. Nalen memeluk Nara yang tidur meringkuk memunggunginya.

"Hmmpfh.. Mau brunoo Len..", rengek Naya sambil mengucek kedua matanya.

"Ya ampun baru melek mata udah inget bruno aja dia..", Nalen memutar bola matanya sambil membuang nafas panjang pertanda harus lebih sabar lagi menghadapi kelakuan istrinya.

"Hup ayoo bangun.." Nalen mengulurkan kedua tangannya meraih tangan Naya agar terduduk dari tidurnya. "Ayo bangun trus nanti ke rumah Opa Frans ajak bruno buat jalan-jalan ya?", kata Nalen memperlakukan istrinya seperti anak kecil hihi..

Senin pagi.

Tidak seperti aktifitas di rumah-rumah kebanyakan. Aku tak terlalu sibuk terburu-buru menyiapkan sarapan untuk Nalen karena dia harus berangkat ke kantor. Kami pasangan wiraswasta, yang bisa mengatur jam kerja kami sesuka hati. Tidak terpaku jam kantor kecuali kalau kami ada janji dengan klien kami. Malah seringnya aku cukup mengirim hasil tulisanku via email atau tinggal kirim batik tulis ke rumah pelanggan lalu tinggal menunggu transferanku masuk ke dalam rekening. Tidak perlu repot merasakan kemacetan ibukota atau riuhnya angkutan di Bogor .

Berbeda dengan Nalen, kalau sedang ada proyek dia akan lebih sering menghabiskan waktu di luar kota atau kalau sedang menunggu proyek berikutnya dia lebih senang menghabiskan waktu mengurus jerami. Kami bekerja mencari uang tetapi tetap bisa menikmati waktu. Nalendra tidak terlalu ngotot dengan pekerjaannya. Aku pun tak pernah menuntut banyak darinya, berapapun yang dia berikan aku selalu merasa cukup. Tak ada masalah, kami hidup sederhana sebab untuk kami kebersamaan itu yang utama.

Seperti pagi ini, aku sibuk di dapur dan Nalen entah di mana. Biasanya dia di beranda membaca koran pagi, tapi kali ini aku tak menemukan batang hidungnya.

"Len.. Nalendraaa.." Aku berjalan mengikuti arah suara paku di pukul berirama oleh palu. Teras depan. "Kopinya nii..", aku mendekati Nalen yang sedang sibuk di pagar rumah.

"Sip! Udah ke pasang. Gimana bagus kan ??" Tanya Nalen sambil mengangkat kedua alisnya.

"Baguuss..", ku serahkan secangkir kopi panas milik Nalen.

Kalian masih ingat hari minggu kemarin Nalen sibuk dengan balok papan kayu? Ini dia hasilnya, sebuah kotak pos cantik berdiri gagah di tepi pagar rumahku.

"Tapi siapa yang mau kirim surat buat kamu?" Ledekku mengingat jaman sekarang mengirim pesan sudah serba instan sampai kadang hampir terlupa budaya berkirim surat lewat pos.

"Ayahku mungkin hehe..", itu Nalen yang selalu bangga pada pekerjaan Ayahnya sebagai Tukang Pos. Menghantarkan pesan entah cinta, duka atau bahagia. Tidak ada yang pernah tau isi surat selain pengirim dan penerimanya. Yang Ayah Nalen tau selalu ada senyum mengembang setiap kali amplop di serahkan pada penerimanya. Ayah Nalen, Bapak Mertua ku itu pekerjaannya pengantar senyum. :')

Itu juga sebab Nalen lebih suka mengendarai motor ketimbang mobil. Sebab Ayahnya kemana saja mengantar senyum dan pesan, selalu menunggang motor berwarna orange berlogo Pos Indonesia.

"Setiap pagi aku bakal ngecheck kotak pos ini. Nah nanti kalau tiba aku dinas keluar kota kamu yang gantiin tugasku ya Nay.. Check kotak pos tiap pagi! Oke?" Perintah Nalen bak komandan.

"Ga ah aku sibuk mau ajak jalan-jalan bruno." Jawabku membuat bola mata Nalen berputar. 'Bruno (lagi)' bathin Nalen bosan.

"Kamu daripada mikirin bruno melulu mending nanti kita jalan-jalan yuuk.." Tawar Nalen.

"Ke mana?" Aku selalu tertarik dengan kata 'jalan-jalan'.

"Hmm..ke Jogja yuukk..", ajak Nalen bersemangat.

"Yaahh kita kan baru pindah Len. Kalau mau pergi jangan jauh-jauh donk.. Aku lagi betah-betahnya ni di rumah.", jelasku lugas.

Nalen terlihat kecewa mendengar jawaban Naya, walaupun sebelumnya dia sudah berprediksi persis seperti apa yg dia dengar.

"Yah masa ga mau siy Nay? Mau ya?", rayu Nalen.

"Ga bisa yang deketan ya Len?" Tawar Naya.

"Eh kayaknya minggu depan aku bakal dapet proyek lho Nay.. Blum tau kemana yang jelas Indonesia bagian timur. Kalau aku ajak ke sana pasti kamu tambah gak mau. Jadi sebelum aku sibuk kerja, mau yaa ke jogja sama aku?? Ya??" Desak Nalen membuat lengkung cemberut di bibir Naya.

"Ayo tapi ada syaratnya.."

"Apa?"

"Nalen mulai bersemangat.."

"Bruno." Senyum Naya nyengir mengembang seperti mendapat kesempatan mendesak Nalen untuk memenuhi keinginannya memelihara anjing.

'Errghh..bruno lagi!' Bathin Nalen geram.

"Guuukk!" Seekor anjing menyalak menghampiri halaman depan mereka.

"Hai buddy.." Sapa Naya ramah sambil mengusap-usap kepala Bruno.

'Oke Naya akan sibuk dengan Bruno' bathin Nalen tambah kesal berlalu masuk ke dalam rumah.

“Leenn kalau kamu sok-sokan ngambek aku tambah makin ga mau kamu ajak ke Yogja lhoo..” ancam Naya setengah beteriak.

Nalen berhenti lalu membalikkan tubuhnya, “Aku ga ngambek sayang, mau baca koran” ucap Nalen memberikan alasan.

***

Baru sekitar 10 menit kepala Nalen kembali menyembul di balik pintu.

“Nay.. Papi telfon..” panggil Nalen sambil melambaikan telfon wareless kami.

“Bawain sini donk Len..”ucap Naya masih asyik meracau dengan Bruno.

‘Duh sabar Len sabar.. Naya lagi ngambek..’ bathin Nalen melangkah menuju Naya.

“Halooo Papii.. Baru tadi rencana Naya mau telfon papi. Pap sini donk maen ke rumah baru Naya!”, begitu menerima telfon langsung Naya berceloteh tanpa perlu diberi aba-aba.

“Kapan Pap? Sekarang??” suara Naya sengaja dibesar-besarkan agar Nalen mendengar. Daaann tepat pada sasaran si Nalen langsung melotot, bisik-bisik “Jangan sekarang Naya kita mau ke Jogja..” bisik Nalen pelan.

Mendengar bisikan Nalen, gantian Naya yang melotot.

“Bentar Pap..” ---- “Jangan berisik deh Len..” ucap Naya sambil menutupi ujung telfon agar Ayahnya tak mendengar. Naya masih melotot sambil menginjak pelan kaki Nalen lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Sedang Nalen, mengelus dada ‘sabar-sabar..’ hihihi.. Aku suka begitu, kalau sudah ngambek aku akan bertingkah yang aneh-aneh yang bisa membuat Nalen kesel. Seperti sekarang aku malah sengaja meminta ayahku datang padahal jelas-jelas Nalen mengajaknya ke Jogya.

Sambil asyik bertelfon dengan Ayahku, aku memasak sarapan untuk Tuan Muda Nalendra Jaleswara. Aku selalu bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar ngobrol ringan dengan Ayahku. Sosok yang paling aku cinta. Dari kecil kami hanya tinggal berdua, ibuku entah kemana. Aku tak begitu dekat dengan ibuku maka maaf jika nanti aku tak terlalu banyak menceritakan kisah tentang beliau. Yang aku ingat tentang ibuku cuma satu, hari dimana dia meninggalkan rumah, meninggalkan aku dan ayahku. Belasan tahun aku ingin melupakan detik-detik itu tapi aku tak pernah mampu. Seperti luka yang selalu menganga dan tak pernah bisa terobati. Ibuku pergi, kedua orangtuaku bercerai. Awalnya ibu pulang ke Magelang tetapi kabar terakhir yang ku dengar Ibu sudah menikah dan menetap di Swedia. Ya, ibuku Indo-Aussie. Kakek dari Ibuku seorang jawa tulen asli Magelang yang menikah dengan Nenek seorang Australia asli.

Papi, seumur hidupnya mengabdikan menit-menitnya untuk bekerja dan mengurusku Putri semata wayangnya. Papiku tak pernah mau menikah lagi, betapa aku tahu bahwa Papi belum mampu melupakan Mami. Dan setelah aku menikah dengan Nalen betapa aku tahu Papi benar-benar kesepian tanpa celotehku. Aku seringkali sedih mengingat ini. Aku sering kali dilemma antara tinggal tak jauh dari rumah papi atau mengikuti keinginan diri untuk tinggal di Bogor . Untuk mengurangi rasa bersalahku telah membiarkan papi kesepian tinggal sendiri di Ibukota, seminggu sekali atau paling lama dua minggu sekali selalu menyempatkan mengunjunginya. Kalau Nalen sibuk biasa aku akan berkereta sendiri ke Ibukota.

Sup ku sudah matang sekarang tinggal menggoreng perkedel dan mengolah sayap ayam bumbu kecap kesukaanku. Papi menyudahi pembicaraan ketika tahu aku sedang memasak, katanya “Nanti masakan kamu gosong kalau di sambil ngobrol sm Papi Nay..” hihi.. ’Papiii Naya kangen papi’ bathinku ingin berteriak.

Oh Tuhan ternyata dari tadi cengar-cengir membuntutiku.

“Apaan siy kamu Len? Risih deh orang lagi masak juga..” aku menggerutu kembali cemberut.

“Yee orang mau bantuin juga masa ga boleh?”

“Tumben mau bantuin di dapur? Ada perkedel di balik batu yaa??”

“Heheheh.. Ni buat kamu sayang..” Nalen nyengir seperti sudah terbaca apa maksud dan tujuannya sambil mengulurkan setangkai Lily Putih kesukaan Naya.

Ada yang merona di pipi Naya, sebuah senyum seindah Lily yang sedang di genggamnya.Tak lama hanya dalam hitungan detik senyum itu pun sirna dari wajahnya. Berubah menjadi mimik wajah penuh curiga salam melangkah menuju beranda.

“Na-Len-Draaaaaaa.. eRrrrgghhhhhhh.. kamu petik bunga aku yaaaa???” Naya berteriak kesal dengan bola mata nyaris copot dari cekung matanya. Ini menyeramkan, lebih menyeramkan dari serigala berbulu domba huhuhu..


“Astagaaaahh..” Nalen menepuk keningnya sendiri. Sangking dia sibuk memikirkan cara menyenangkan hati Naya dia sampai lupa efek sampingnya. Salah strategi kawan!

“Sayang ampun sayang..” seketika Nalen tunggang langgang berlari mendekati Naya yang sedang sibuk memeriksa tanamannya. “Sayang maaf..” Nalen pasang tampang melas, lebih melas dari orang yang belum makan seminggu.

“Tauk Ah..” bibir Naya manyun 5 meter setengah. Lebih parah dari biasanya yang cuma 5 meter.

“Yaaahh gimana donk biar kamu bisa maafin aku? Nay.. Nayaa..” rengek Nalen menarik-narik lengan Naya seperti anak kecil. “Nayaaaa..” sekarang Nalen berlutut di hadapan Naya, lututnya bertumpu di atas rumput halaman kami yang nyaris lebih mirip dengan permadani hijau. Sorot mata Nalen benar-benar menggambarkan perasaan bersalahnya. Melas plus jelek sama dengan kusut hihi sebenarnya kasihan juga melihat Nalen begini tapi gimana emang dia bener-bener nyebelin tingkahnya kali ini.

“Apa?” kataku masih marah.

“Maaf.. Yaa??”

“Pokoknya aku ga mau tau tangkai ini harus kembali ke batangnya lagi. Terserah kamu gimana caranya. Titik.” Naya tau ini ga mungkin tapi cukuplah untuk menghukum Nalen, terbukti wajah Nalen langsung berubah bingung level akut.

“Yah gimana caranya?? Masa di lem hww..”

“Bu-kan u-ru-san-ku.. selesai masak aku check lagi harus udah beres atau kalau ga usah tu ada acara ke jogja-jogjaan.” ancam Naya bergegas kembali ke dapur.

‘GLEK’ Nalen menelan ludah sambil memutar otak. ‘Tangkai-batang-tangkai-batang-tangkai-batang-tangkai-batang HARUS NYAMBUNG. Gimana cara??’

Untuk beberapa saat di dapur begitu terasa damai tanpa rengekan Nalen yang sibuk minta maaf lah, sibuk ngerayu ke Jogja lah hihi sekali-kali ngerjain suami itu perlu lho kawan-kawan haha peace Len wee.. :p

Tak perlu berlama-lama untuk menyelesaikan masakanku minggu pagi ini. Sementara Nalen sibuk sendiri memikirkan tangkai dan batang, aku mulai merapikan meja makan. Menyajikan semua hidangan sarapan, mengisi gelas-gelas kami penuh-penuh dengan jus jambu buatanku. Setiap hari aku membiasakan diri dan menularkannya ke Nalen untuk giat minum jus demi kesehatan.

“Naleenn waktunya hampir habiiis.. Aku udah selesai masak lhoo.. Tinggal beres-beres dapur sebentar habis itu aku periksa yaa..” kataku setengah berteriak dari dalam rumah. Tak ada jawaban dari Nalen entah karena dia tak mendengar atau pura-pura tak mendengar hihi..

Soal pekerjaan rumah khususnya dapur jangan heran kalau aku selalu cepat menyelesaikannya. Aku sudah terbiasa dari kecil di dapur dengan Papi sekedar membuat camilan untuk berdua atau apa saja yang kami ingin santap. Lama-lama aku jadi sering menghabiskan waktu di dapur hanya untuk menyenangkan perut Papi. Tak ada gambaran sosok seorang ibu di dapur kami, hanya aku dan Papi. :)

Aku merapikan rambutku. Mengikatnya tinggi-tinggi persis ekor kuda. Mulai berjalan ke arah beranda, berharap masih menemukan Nalen dengan tampang kusut kebingungan disana hihi jahat ya aku?! Semacam istri durhaka senang melihat suaminya menderita haha..

Salah! Di luar dugaan. Kebunku. Halaman belakang rumahku tak ku temukan Nalen disana. Hanya ada hamparan tanaman bunga Lily putih disana. Tertata rapi mempercantik kebunku yang awalnya jauh dari nilai artistik. ‘Uugh..Nalen!’ bathinku gemas dengan makhluk cipataan Tuhan yang paling ku cinta. Nalen, makhluk yang tak pernah kehabisan cara untuk meluluhkan hatiku hmm..di mana dia sekarang aku benar-benar ingin menggigitnya haha..

“Sayaaaaanggg..” sapa nalen menyembulkan kepalanya dari balik pagar rumah Opa Frans. “Udah nyambung lho tangkai ke batang tanamannya.” Pamer Nalen mengangkat tinggi-tinggi pot bunga lily yang kami permasalahkan tadi.

“Kamu curaaaanggg!! Kamu minta bantuan Opa Frans kan pasti??” tak salah lagi Opa Frans paling ahli di bidang ini.

“Kan kamu sendiri yang bilang terserah aku gimana caranya.” Ucap Nalen mengingatkan sambil melangkah mendekatiku meyerahkan pot bunga di tangannya dengan hati-hati. Aku sibuk memeriksanya, penasaran bagaimana cara menyambungnya.

“Gimana caranya?” tanyaku memperhatikan bekas sambungan antara tangkai yang di petik dengan batang yang masih utuh di dalam pot.

“Rahasiaaaa hahaha..” kata Nalen sombong karena merasa menang.

“Ck..nyebelin! Awas ya kamuuu aku tanya Opa Frans nanti.” Kataku melirik tajam ke arah Nalen sambil meletakkan pot bunga ke tempat semula.

“Suka ga??” bisik Nalen melingkarkan pelukannya di pinggangku dari belakang. Aku paling ga bisa marah kalau Nalen sudah bersikap semanis ini uh..Nalen kamu Juara!

“Suka ga sayang? Aku borong habis lho stock bunga Lily Opa Frans..” katanya pamer.

“Oh ya?! Hahaha..” aku tertawa mendengarnya.

“Sukaaa Len!! Tapi jangan di petikin lagi yaaa..” aku meliriknya dari sudut mataku.

“Iyaa maaf ya.. ga kepikiran kamu bakal semarah itu tadi hehehe..” jawab Nalen meletakkan dagunya dipundakku. “Sayang mau yaa ke jogja.. Pleasee mau donk.. keburu siang aku harus ke terminal buat beli tiket..” rengek Nalen merasa masalah per-Lily-an nya sudah selesai, dia kembali merayuku untuk mau pergi ke Jogja.

“Duuhh emangnya harus sekarang ya?? Belum packing segala macem lho..” jawabku malas-malasan sambil asyik memanjakan mataku memandang kebun Lily Putihku.

“Bisanya sekarang istriku, minggu depan aku udah sibuk-sibuk lagi.” Rengek Nalen sekarang dia mijit-mijit pundak. Ya ampun Nalen keluar deh lebaynya. -_______-“

“Besok aja Len jangan hari ini.. Sarapn yuk udah siap tuh keburu dingin.” Ajakku masuk ke dalam rumah.

“Emang kenapa kalau hari ini? Papi jadi mau ksini?” Nalen mulai panik mengikuti langkahku.

“Ya engga siy.. Cuma aku ga suka aja kamu hobby nya dadakan gini.. males tauk!” kataku meraih sendok nasi.

Nalen cemberut mendekati mangkok soup ku yang masih mengepul. Mengambil sendok lalu mencicipinya. “Nay.. Nayaa ini enak Nay.. sumpah! Pasti bapak di Yogja kangen sup buatanmu Nay..”

“Nalen udah deh jangan mulai lebay nya..” Naya menanggapi datar.

“Huaaaaa sayaaangg kamu gitu banget siiy.. aku pengen ke Yogja sayang..” Nalen menarik-narik lengan bajuku seperti anak kecil.

“hhhhhh..Nalen! Kamu niih.. yauda sana abis ini beli tiket.. BA-WEL!”

Dan Nalen pun bersorak penuh suka cita mengambil nasi banyak-banyak lalu melahapnya penuh semangat. Aku hanya meliriknya, geli sekali melihat tingkahnya hari ini. Ah suamiku..






*foto setangkai bunga Lily di atas aku copy dari page blog Annisa Mustika via google tapi bisa klik di sini Naya share link nya yaa.. Sepetik arti tentang Lily Putih dari Annisa.

"Lily Putih melambangkan sebuah keabadian dan kesucian cinta, serta sebagai lambang kesahajaan. Oleh karena itu, bunga ini kerap menghiasi berbagai macam acara pernikahan yang memiliki konsep white romantic. Namun, bunga ini juga kerap menghiasi acara pemakaman. Sebab ada yang berpendapat bahwa bunga lily adalah lambang kebangkitan hidup.",

http://annisamustika.blogspot.com/2010/07/makna-bunga-dan-berbagai-warnanya.html